Jangan Ngaku-ngaku Dulu
09.27* featured on Mommies Daily
Dulu sih ngaku-ngaku ngerasa udah jadi direktur keuangan jempolan. Kayaknya saya tuh merasa udah paling bener mengalokasikan uang rumah tangga. Ternyata, salah besar. Huaaaaaa....!!!!
Kesalahan soal keuangan terbesar adalah saya enggak memasukkan cicilan-kpr-to-be ke dalam pos pengeluaran. Dudulnya diriku.
Inilah akibat terlalu lama tinggal di rumah ortu/mertua #curcol.
Lupa kalau rumah ortu kan bukan rumah eike, melainkan ya rumah ortu. Lupa kalau properti ortu ≠ properti pribadi. Lupa kalau ortu pun berkewajiban senang-senang menikmati masa tuanya sendiri. Lupa kalau saya bukan anak tunggal. Lupa main embat hak milik orangtua. Kualat tau!! *amitamit*
Setelah menikah pada akhir 2005, saya langsung diboyong suami ke Bandung dan tinggal di rumah mertua. Bukan pilihan terbaik memang, tapi apa boleh buat. Tabungan kita habis buat nikah dan saldo harus mulai dari nol.
Perusahaan tempat saya dan suami kerja adalah perusahaan lokal yang belum memberikan kesejahteraan yang layak buat karyawannya. Alokasi gaji waktu itu: simpanan untuk biaya melahirkan (plus beli printilan keperluan bayi), uang saku masing-masing, belanja bulanan, dan amplop buat mertua. Dua item terakhir ini penting untuk melatih membayar pengeluaran sendiri, biar nantinya kalau sudah punya rumah sendiri enggak terlalu kaget, lagian mertua kan udah masuk masa purna tugas. Uang pensiun enggak seberapa, udah gitu kita kan numpang, ya bantu semampunya.
Uang jajan jalan jalan? Dari kocek masing-masing. Kalau masih ada sisa, uangnya dimasukin ke tabungan. Kata finplanner, harusnya kan pendapatan - tabungan = pengeluaran. Err, tapi ini malah kebalik. Ya gimana, la wong ngepas kok *excuse*
Waktu itu kita sempat lho survey cari rumah. Pernah sekali ketemu perumahan baru 'G' di kawasan Bandung Timur yang harganya terjangkau, baik DP dan cicilannya, tapi enggak jadi diambil. Kenapa? Lokasinya jauh banget dari rumah mertua (tentu dong), rumahnya tipe kecil (pastinya, ada harga ada rupa), kamar mandinya kecil (emang mau berenang di bak?), nanti kalau punya anak gimana (err, ga ada hubungannya ya) dan berbagai alasan yang kalau sekarang dipikir-pikir, "Ya ampun, manja amat sih kriterianya. Kalau ada uangnya sih bolehlah sombong, tapi kalau ga ada? Cerewet amat sih."
Biarpun semangat membara mau beli rumah yang dekat ke pusat kota, uang yang disisihkan kok ya cuman segitu-gitu aja? Malah lebih banyak wisata kuliner dan beli barang yang enggak jelas.
Awal tahun 2007, suami dapat pekerjaan baru dengan penempatan di Semarang. Girangnya diriku bisa balik kampung maning. Waktu itu saya sedang hamil dan pastinya kalau lahiran butuh bantuan banyak dari orangtua dalam merawat bayi. Untungnya di tempat kerja baru suami ini, kesejahteraan karyawan diperhatikan banget. Ada faskes dan maternity allowance. Alhasil, dana melahirkan dibelokkan untuk keperluan belanja keperluan bayi dan akekah. Untuk pengeluaran bulanan, pembagiannya sama seperti sebelumnya, hanya kali ini amplop mertua jadi amplop ke orang tua saya. Kan di Semarang, tinggalnya (lagi-lagi) numpang di rumah ortu saya :DD
Tiga bulan setelah Ayesha lahir, saya kembali bekerja. Dengan dua sumber pendapatan, kita seharusnya lebih cepat mengumpulkan pundi-pundi uang untuk beli rumah. Eh, tapi kok jumlahnya belum cukup aja. Print out di buku tabungan membuktikan bahwa aktivitas debet lebih banyak daripada aktivitas kredit. Padahal dengan tinggal di rumah orangtua/mertua, kan ada biaya-biaya pengeluaran sehari-hari yang ditanggung mereka *malu*. Coba dilihat lagi. Belanja bulanan, uang saku, susu, keperluan anak, dapend (dana pendidikan) anak, amplop ke ortu, sisanya buat tabungan. Ealah, ternyata uangnya tanpa disadari buat beli perabotan rumah tangga (kata Ayah, "Persiapan buat isi rumah sendiri.") dan 3 J (jalan jalan jajan). Sikap nyantai ini kayaknya lebih banyak dipicu kenyataan, "Ah, kan masih bisa tinggal di rumah orang tua ini. Mereka juga kan enggak akan kemana-mana." Jadi jumlah uang yang disisihkan ya nyantai juga. *dudul*
Terus beli rumahnya gimana? Enggak lupa donk, keinginan tetap membara, tapi selalu aja ditunda dengan alasan klasik, "Entar dulu, kalau uangnya sudah cukup."
Sampai akhirnya kita dikasih shock therapy beneran dari ortu karena mereka mengutarakan niat mau tinggal di kampung halaman Tasikmalaya dan rumah di Semarang (yang kita tempatin) akan dijual. Dueeeerrrrr.
Panik lah kita. Rumah belum punya. Kontrak? Emoh, kayaknya buang duit. Kost? Lha barang kita yang segambreng mau ditaruh mana? Siapa yang ngejagain Ayesha nantinya?
Di titik inilah akhirnya saya dan suami harus benar-benar berpikir dan bertindak secara dewasa, bukan lagi bertingkah layaknya, "masih anak orangtua".
First step, saya mengajukan resign dari kantor. Rasanya bakal gila mikirin Ayesha seharian cuman ditemanin ART. Ntar kalau dia tiba-tiba keluar gimana? Masa saya kudu selalu ijin ke big boss dengan alasan, "Pak, saya ijin hari ini enggak masuk soalnya asisten saya tiba-tiba keluar, enggak ada yang jaga anak. Ntar kalau dia nangis gimana? Yang masakin siapa? Saya kan perempuan.....bla...bla...bla." Eh, beneran kan, beberapa bulan kemudian si ART ini keluar kerja. Tapi saya enggak panik, kan terbiasa kerja rumah tangga sendiri, lagian lumayan mengirit. Sementara rumah belum laku terjual, kita diminta ortu menempati duluan.
Dari yang tadinya hanya ngasih amplop ke Ibu lalu tahu beres, sekarang harus ngatur pengeluaran rutin bulanan yang harus ditanggung sendiri. Tagihan listrik, air, telepon, iuran RT, PBB, belanja keperluan dapur, toiletries, belanja sayur buat makan sehari-hari. Lha, ternyata banyak ya :P
Hunting rumah pun segera dimulai (lagi). Kali ini lebih realistis dan enggak neko-neko. Yang penting harganya terjangkau, mengenai tipe dan lokasi enggak masalah, asal enggak jauh-jauh amat dan kecil-kecil amat.
Syukur, proses pencarian ini enggak terlalu lama, karena rumah yang didapat enggak terlalu jauh dari rumah lama, harganya terjangkau, lingkungannya sudah jadi.
Belinya gimana? KPR lah yaw. Investasi yang satu ini bener-bener menguras tabungan sampai ke dasar, terutama untuk DP dan tetek bengek lainnya ( bank admin, notaris, BPHTB, AJB). Belum lagi karena rumah second, maka kami harus mengeluarkan uang ekstra buat renovasi beberapa bagian rumah. Habis-habisan? Ya, tapi terbayar lunas dengan rasa puas karena (akhirnya) punya rumah sendiri.
Nah, inilah puncak kesalahan perencanaan keuangan saya karena sekarang harus menyisihkan pengeluaran untuk cicilan kpr. Memang sih jumlahnya enggak lebih dari 30% penghasilan suami, tapi cukup bikin suami dan diriku terkaget-kaget. Pundi keuangan kan sekarang cuman dari pak suami aja. Hiks....
Second steps. Berhemat. Smart living. Living frugally. Whatever lah.
Kalau awalnya terdengar menyeramkan, tapi setelah dijalanin, terbiasa juga kok. Buktinya kita masih bisa bertahan. Alhamdulillah ya, sesuatu banget *ala syahrince*.
Tapi kita juga enggak berpuas diri, karena bukan berarti dapat comfort zone baru. Masih banyak planning keuangan yang harus dipikirkan lagi. Kalau punya anak lagi gimana? Kan harus menyiapkan dapend anak kedua, belanja keperluan anak lagi, (mungkin) punya ART lagi, nambah investasi, renov rumah, dan sebagainya...dan sebagainya.
0 komentar