Ayesha Mengirim Surat

10.41


*dimuat di The Urban Mama
Berkirim kartu ucapan rasanya sudah tidak lagi menjadi tradisi yang dilakukan sekarang ini. Semakin canggihnya peranti digital membuat orang lebih memilih mengirim ucapan lewat pesan elektronik. Cepat, mudah, dan murah. Semudah cuman menulis HBD WUATB, dan semudah menghapus pesan-pesan ucapan yang masuk kalau inbox nya penuh. Rasanya kurang berkesan, ya? 
Saya masih ingat ketika masa-masa sekolah dulu, berkirim kartu hari raya, tahun baru, ulang tahun adalah hal yang sangat menyenangkan. Yayaya, jaman saya sekolah belum ada gadget, email, socmed. Kadang-kadang saya sama sohib dekat sejak zaman SMP (hai, ya, itu kamu!) pergi bareng ke toko buku atau swalayan terdekat, beli kartu trus nanti kirim bareng ke kantor pos dekat rumah. Jujur, saya kangen saat-saat menulis ucapan, melipat amplop, menulis alamat, menempel perangko. Kayaknya ribet ya, tapi itulah seninya.

Dulu saya juga punya loh buku alamat teman-teman yang bukunya alphabetical order itu. Belum lagi buku notes yang isinya data pribadi teman, alamat, tanggal lahir  terus dibawahnya ditulis kesan dan pesan. Jadul abiesss....
Sekarang? Boro-boro punya, yang ada juga juga akun fb atau no hape. Teman aja baru tanya alamat saya kalau mau...........nawarin dagangan -_-
Karena tahun baru ini kami sekeluarga tidak pulang kampung ke rumah orang tua, maka mengirim kartu ucapan Tahun Baru adalah hal yang ingin saya lakukan. Karena kartu ini akan dikirim ke kakek-nenek dan akung-uti nya Ayesha, jadi harus tampak ‘spesial’. Beli? Oh tentu tidak, kali ini saya mau bikin sendiri saja.
Dengan bahan yang sederhana dan kemampuan seni saya yang seadanya, mulailah saya dan Ayesha membuat kartu ucapan tahun baru. Bagian depan dihias bertemakan langit di malam hari. Saya membantu Ayesha menggunting bentuk-bentuk yang sulit, sedangkan dia bertugas untuk menempelkannya. Bagian dalam diisi dengan ucapan selamat tahun baru. Di bagian ini saya mengeja huruf satu demi satu kemudian Ayesha menuliskannya di atas kertas, tak lupa sedikit corat-coret gambar bikinan Ayesha sendiri. Terlihat tidak rapi memang, tapi yang penting maknanya, kan?
Keesokan harinya, kami berdua pergi ke kantor pos yang letaknya tidak jauh dari rumah. Sebetulnya Ayesha sudah sering pergi ke kantor pos ini, bukan untuk mengirim surat, tapi untuk menemani saya membayar beberapa tagihan rumah tangga. Kali ini saya memilih untuk mengirimkan kartu dengan menggunakan perangko, selain biar terkesan vintage (*halah*), juga biar Ayesha tau yang namanya perangko. 
Awalnya saya agak ragu juga, emangnya masih ada gitu yang kirim surat pakai perangko? Bapak petugas pos sampe ngakak mendengar pertanyaan saya itu, “Hahaha, ada-ada saja. Tentu pasti sampai.Di Amerika aja orang-orangnya masih pakai perangko” Ok...ok. Bapak petugas pos memberi saya dua buah perangko Rp3.000,- untuk setiap alamat tujuan dan menjelaskan bahwa surat akan tiba kurang lebih tujuh hari kemudian.
“Ini apa, Bun?”, tanya Ayesha ketika melihat perangko. Maklum, itu adalah pertama kali dia melihat perangko dan bertambah takjub ketika melihat saya menjilat perangko itu untuk ditempel di amplop. “Ini namanya perangko. Perangko ini ditempel di amplop biar sampai ke tempat kakek-nenek dan akung-uti,” jawab saya. “Tolong ya, ini dikasih ke Bapak pos di meja sana!”
Benar saja, tujuh hari kemudian terdengar telepon masuk untuk Ayesha. Suara Uti terdengar di seberang, “Ayesha, kartunya sudah sampai. Selamat tahun baru juga ya!”
Selang satu hari kemudian, Nenek menelepon dengan semangat, “Ayesha, kartunya lucu sekali!”

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe