RSU & Pelayanan Berpintu-pintu

06.43

Sebelum pensiun, Bapak saya tidak pernah menggunakan fasilitas Ask*s untuk berobat ke dokter atau rumah sakit, begitu pun dengan istri dan anak-anaknya. Biarpun hanya pegawai dengan golongan biasa, beliau selalu membawa keluarganya berobat ke tempat praktek dokter, instead of puskesmas atau RSU/D.Bukannya sok kaya ya melainkan memang penggunaan Ask*s ini dulunya enggak disosialisasikan secara meluas buat para pns. Selain itu, tau sendirilah, jaman dulu ngurus birokrasi buat klaim ke sebuah instansi pemerintah kayak menghadapi lintah darat berwujud ular sanca. Lama, ribet dan harus ada uang pelicin.


Bapak saya sendiri baru aktif menggunakan Ask*s sejak lima tahun lalu atau 6 tahun setelah pensiun. Nampaknya institusi ini memang sudah mulai berbenah diri dari segi pelayanan. Kalau saya amati, beberapa RS Swasta sudah banyak menerima pasien dari Ask*s. Buat pensiunan seperti Bapak saya, fasilitas asuransi kesehatan ini memang membantu banget, terutama untuk rawat inap, obat, laborat dan terapi. Tapi tetap saja ya pelayannya masih birokratis banget dan lamban. Ini bukan asbun tapi berdasar realita waktu saya mengantar Bapak berobat ke RS H*s*n S*d*k*n Bandung.

Sebetulnya Bapak berobat rutin ke salah satu dokter D, internist kondang di tasikmalaya. Bukan dengan layanan Ask*s sih, bayar pribadi soalnya dokter internist ini enggak praktek di RSU Tasikmalaya . Tapi berhubung sekalian mau antar saya dan Ayesha ke rumah mertua di Bandung, jadilah Bapak mau mencoba layanan Ask*s di RSU terbesar di Jabar itu.

Berangkat pagi-pagi dari Tasikmalaya, kita sekeluarga (Bapak, Ibu, saya, Ayesha, bibi, sepupu dan driver) mengantar Bapak. Tiba di Bandung sekitar jam 10 siang, belum macet dan cari parkir yang, ampun, susah banget sampai akhirnya saya dan Bapak turun dulu buat cari-cari info, dan masuklah kita ke lobby RS HS ini. Pemandangan pertama terlihat, interior gedung lobby terlihat modern, tapi ya ampun, ramenya kayak pasar. Mungkin karena ini RSU ya. Papan-papan info yang segede gaban itu terlihat enggak terlalu informatif buat pasien yang baru pertama kali datang kesitu seperti saya, apalagi buat saya yang bukan pengguna Ask*s.

Ok, pertama ke pusat informasi. "Aa, saya mau ke poli spesialis, dimana?" "Oh itu di sebelah ATM BR* belok kanan" Setelah ucap thx, lalu kita menuju ke tempat itu, dan memang benar itu tempat poli spesialis. Masuklah ke tempat pendaftaran. Saya tidak langsung dilayani melainkan ditinggal mengurusi sesuatu-entah-apa. Dua menit kemudian barulah ditanya, "Periksa apa, Neng." "Mau ke poli endokrin." Jawab saya sambil menyodorkan kartu Ask*s Bapak. "Oh, di sini bukan buat Ask*s. Ini swastanya, bayar 125ribu kalau mau. Kalau mau Ask*s, ke Ask*s center dulu." Denger jawaban suster ini bikin saya bengong, maksudnya apa seh pakai-pakai nama swasta, lha wong tempatnya aja di RSU kok. Saya udah mulai curiga kalau pelayanan Ask*s ini pasti tidaklah seistimewa yang sasta tadi. Arggghhhh. 
Untung kepala masih dingin, "Kalau Ask*s centernya di mana?" Susternya jawab,"Keluar aja, nanti ada jembatan, terus aja." Ok, cabut langsung, 

Sukseskah saya mencari tempat itu? Oh tentu tidak, karena di lobby segede itu tidak ada papan penunjuk ke Ask*s center. Akhirnya tanya ke satpam yang lewat. Ternyata Ask*s centernya memang jauuuuuuh dari lobby utama. Kebayang ya, Bapak atau para eyang-eyang pensiunan lainnya yang sudah sepuh harus berjalan segitu jauhnya ke Ask*s Center, mana jalannya licin naik turun. 

Ask*s Center di RSHS memang lebih kecil dan tidak senyaman di poli spesialis swasta tadi. Ambil nomor antrian dan dapat nomor 461, dan loket waktu itu baru melayani pasien dengan nomor 415. Glek! Ditunggu, tunggu, tunggu, dan teng jam 12 siang, loket pendaftaran di TUTUP untuk makan siang dan dibuka kembali jam 13 *serasa pengen ambil kunci inggris*. Disini saya enggak habis pikir, kenapa sih kok petugasnya enggak pada bergantian istirahatnya biar para sepuh ini bisa terlayani semuanya. Mau komplain, ternyata semuanya juga tutup loketnya. Kantor rep Ask*s tutup, suster2 di poli Ask*s juga istrirahat kabeh. Piyeee tho ki? Payah tenan.

Pemandangan di sekitar tambah bikin nyesek. Baru kali ini, disini, saya melihat pasien yang udah kepayahan di kasur dorong, di dorong sama KELUARGA sendiri untuk mendapat perawatan. Tanya sana-sini sama Satpam! Lha mana perawatnya? Er, saya akhirnya juga baru sadar kalau selama saya di RSHS ini saya enggak menjumpai para perawat berkeliaran di dalam ruangan RS. Nyesek lainnya, para koas ternyata banyak sekali bersliweran di poli Askes dengan memakai jas putihnya itu lho. Ada yang main hape, ngerumpi di lorong, sampai mojok curhat berdua. Dan, pasien yang tadi didorong keluarganya, mereka juga diem aja tuh, keep on sliweran seperti enggak ada siapa-siapa di situ. Bantuin kek, atau periksa sebentar kek. Jam istirahat ini kayaknya memang jam dewa yang tidak bisa mengganggu gugat siapapun para paramedik di RS ini untuk memberikan pelayanan kepada pasien.

Teng, jam 13 tiba, loket pelayanan dibuka. Is that easy? Nooooope. Walaupun sudah membawa persyaratan yang dibutuhkan, seperti yang tertera di layar tivi no antrian ; surat rujukan asli, kartu ask*s asli, dan nomor antrian, saya diterima dengan judes.

Petugas loket: "Ini dari Tasikmalaya ya. Minta KTP."
Me: Lsg ngacir ke bapak buat minta KTP.
PL: "Ini baru pertama ya kesini."
Me: "Iya."
PL: "Kok cuman bawa rujukan dari Puskesmas aja? Harusnya ada dari RSU Tasikmalaya."
Me: (Meneketehe) "Bukannya di tipi tadi ditulis surat rujukan aja?"
PL: "Kan sekarang ada pelayanan berjenjang. Ya udah, coba ke kantor Ask*s sebelah."
Me: "Ya kan saya enggak tahu mbak."
PL: (manyun)

Masuklah ke kantor Ask*s, dan lagi-lagi saya harus antri lagi! Ambil nomor antrian lagi. Tambah kesel lagi ada aja yang mau nyerobot dengan alasan, "Saya mau tanya sedikit kok."
Langsung saya nyolot, "Bu, disini semua juga mau tanya sedikit, tapi ambil nomor antrian!!!" 
Ibu pensiunan di sebelah ikutan nyeletuk, "Iya ya neng, semua disini juga susah bareng kok." Weeekssss, enak aja nyalip.
Petugas CS Ask*s cuma satu dan lamban banget pelayanannya. Saya udah rada senewen soalnya jam menunjukkan 1.30 padahal pelayanan poli hanya sampai jam 2.30. Akhirnya sampai juga giliran saya.

Me: "Mas, saya dari Tasikmalaya mau daftar rawat jalan disini, gimana?"
Mas CS: "Coba tanya petugas loketnya aja?"
Me: "Lho, saya malah disuruh Mbak petugas loket nomor 4 kesini. Gimana sih, Mas?"
MCS: "Oh...." Dianya langsung melesat ke loket....
Arggggggghhhhhhh...
MCS: "Begini Teh, kalau sekarang surat rujukan dari puskesmas aja enggak apa-apa. Tapi mulai bulan depan sudah diberlakukan pelayanan berjenjang."
Me: "Maksudnya gimana?"
MCS: "Bapaknya Teteh harus ke Puskemas dulu minta rujukan ke RSUD Tasikmalaya lalu minta rujukan dari RSUD Tasikmalaya untuk ke RS HS ini."
Me: "Ya. kalau gitu saya minta daftar ke poli endokrin lho, bukan spesialis dalam ya!"
MCS: "Tapi harus ke poli spesialis dalam dulu baru nantinya dapat rujukan ke poli endokrin"
Me: (Ya ampun, orang sakit kok ya masih harus pake birokrasi tho!!!) "Terus sekarang gimana?"
MCS: "Ke loket lagi buat pendaftaran."
Me: $!$#^%$%&*^()*

Baliklah saya ke loket. Niatnya mau balas dendam dan misuh-misuh sama Mbak loket no.4, tapi si Mbaknya enggak ada di tempatnya *evilmode* Yasud lah ke loket lain dan lagi-lagi menegaskan minta daftar ke poli endokrin juga ditolak dengan alasan, "Ini Bapak ke poli spesialis dalam dulu. Kalau dokternya merasa perlu dirujuk ke poli endokrin, nanti dirujuk kesana. Ini memang alurnya, Teh." Pokoknya saya ngelus dada aja ngadepin alur-alur disini, mana Bapak saya sakit, nunggu lama, di ping pong sana-sini, ditolak ke poli yang dikehendaki. Bapak, "Ya udahlah Nin. Bapak pengen tahu aja, kok, gimana kalau disini." Nyesel deh udah jauh-jauh ke sini, tapi gimana lagi, terpaksa daftar.
Pendaftaran done. Bayar 6500 rupiah.
PR selanjutnya ke poli spesialis dalam.

Me: "Poli spesialis dalamnya dimana?"
Mba Loket: "Keluar dari sini terus aja, turun. Disitu"
Kayaknya arahnya simpel ya, tapiiii ternyata turun, belok kanan naik, belok kiri turuuunnn, lurus, sebelah kanan ada tulisan segede gaban POLI SPESIALIS DALAM. Disini ada pembagian laki-laki dan perempuan. Ruangannya khas RSU tempoe doeloe ala bangunan peninggalan kompeni: langitnya tinggi, gotik, pokoknya serasa masih jaman peralihan kemerdekaan lah. Bener kan, ruangan perawatannya beda dengan poli swasta-tapi-negeri itu yang modern dan ber-AC.

Untungnya di poli dalam ini enggak ada pasien lainnya, aman, gausah antri lagi. Kasih tiket pendaftaran ke loket, enggak lama kemudian dipanggil. Bapak diperiksa tensi darah, ditimbang, ditanya-tanya riwayat kesehatan, dicek hasil laborat, trus dipersilakan masuk ke bilik dokter. Di ruangan ini ada 3 bilik buat 3 dokter. Daaaan, dokternya ternyata dokter muda yang baru lulus spesialis dalam *capeeee deh*
Bukannya menyepelekan ya, tapi saya sendiri belum seratus persen yakin dengan kemampuan para dokter muda ini. Ilmu kedokteran kan bukan ilmu pasti 1+1=2, tapi ilmu perkiraan yang butuh pengetahuan dan pengalaman banyyaaaaaak. Dokter yang udah bertahun-tahun lulus aja masih suka salah diagnosa, apalagi mereka. Udah kepalang basah, yasudahlah konsultasi aja.

Dokter muda A ini untungnya sangat ramah, komunikatif, sabar dan enggak sok tahu. Saya yang dari tadi udah senewen jadi rada terdinginkan. Bapak, walau kayaknya juga enggak puas, juga mau konsultasi. Bapak diperiksa, ditanya riwayat kesehatan, diberi saran medis. Waktu saya minta, "Saya mau ke poli endokrin ya, Dok", eh tetap ya ditolak, "Ah enggak usah kok, Teh, disini saja sudah cukup."

Pengalaman nemenin Bapak berobat dengan layanan Ask*s ini membutuhkan pengorbanan mental dan fisik. Lebay? Enggak? It's a true story. Saya yang masih kinyis2 aja, ngerasa cape, apalagi pensiunan kayak Bapak. Udah sakit, jauh, ribet, nunggu lama, diperlakukan seperti pasien kelas dua.
Kalau ada yang bilang, GRATIS sih.!!!! Eh, enak aja, gaji Bapak dan para sepuh pensiunan lain sepanjang mengabdi negara dulu kan dipotong buat bayar permi Ask*s setiap bulannya.

Niat Bapak awalnya mau ke poli spesialis endokrin untuk konsultasi mengenai penyakit gulanya. Kenapa pakai Ask*s? Kalau bisa dimanfaatkan, kenapa enggak? Eh ternyata kalau mau ke poli spesialis endokrin, harus daftar ke yang poli swasta-tapi-negeri-tapi-bayar. Bagi saya orang awam, sungguh enggak habis pikir, orang pengin sembuh dan sehat kok terhalang birokrasi kedokteran. Wajar kalau Bapak saya ingin yang terbaik untuk kesehatannya.

"Bapak mau kesini lagi nantinya?" saya pengen tahu. Tegas Bapak, "Enggak, jauh-jauh kesini tapi hasilnya sama aja dengan dokter yang di Tasik. Mending disana aja Nin. Bapak cuma kepengen tahu"
Good.

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe