Preschooler : Taman Kanak-Kanak

02.43

Kalau banyak orang bilang memilih sekolah untuk anak itu susah, saya enggak terlalu pusing cari-cari kesana-sini. Saya enggak terlalu mematok banyak kriteria sewaktu memilih sekolah PG buat Ayesha. Simple.

1. Lokasi dekat dengan rumah.
Saya enggak mau tenaga saya dan Ayesha terkuras di perjalanan, apalagi pulang pergi naik motor.  
2. Biaya
Biaya sesuai dengan dana pendidikan yang tersedia. Masih banyak sekolah bagus dengan biaya terjangkau dan fasilitas yang cukup.
3. Kurikulum
Saya dan suami sepakat memilih yang berbasis agama Islam. Jujur, karena pengetahuan agama orangtuanya masih kurang, kami ingin Ayesha mendapat pelajaran agama di tangan yang benar.
4. Bahasa pengantarnya bahasa Indonesia
Selain di rumah memakai bahasa Indonesia, ini juga supaya Ayesha lancar bertutur dalam bahasa ibunya dulu. Ada beberapa sekolah lho, yang katanya int'l standard, tapi bahasa Inggris gurunya acak-acakan, dan campur aduk dengan bahasa Indonesia. 

Ceritanya, saya dan suami udah mantep memilih sekolah 'B' yang sesuai dengan diatas, apalagi di sekolah ini beberapa tetangga lama juga memasukkan anaknya disini. Lokasi cuma 3 kali koprol, biaya terjangkau banget (mahal bisa dicicil) dan gurunya santun banget. Tapi ternyata, kita pindah rumah satu bulan menjelang masuk sekolah. Jadilah cari-cari sekolah di sekitar dekat rumah. Ada sekolah 'AA', 'MB', 'NI', HB' dan D. Hasil survey-nya adalah :
- 'AA' ini punya fasilitas yang lengkap, franchise sekolah terkenal, dan tentunya berimbas ke uang pendaftaran yang tentu mahal. Konsekuensi sekolah mahal, biaya sosial pasti mahal. Gak mau dong, nanti Ayesha (dan saya) jadi outcast gara-gara ketahuan cicilan rumahnya belum lunas *lebay*. Pokoknya, yang mahal enggak jelas, dicoret. 
- Sekolah 'MB' paling dekat dan di pinggir jalan besar. Siswa yang daftar KB? Cuman 5 orang aja. Err, coret dari daftar. Belakangan saya dengar gosip dari tetangga, sekolah ini memang 'bermasalah'. Untung enggak jadi daftar, mana mahal.
- Dilihat dari brosurnya, lokasi 'NI' termasuk dekat. Coba telpon. Sekali, enggak diangkat. Dua kali, diangkat dengan suara anak abg di seberang. "Mau cari ibu ya?" "Iya, ini siapa?" "Saya anaknya. Maaf, ini hp nya Ibu ketinggalan. Ada apa? Nanti saya sampaikan" "Mau tanya info sekolah, Dik" "Langsung aja kesana" "Tempatnya mana ya?" "Tau puskesmas X. Dari situ masuk, bla,bla" Oh, diriku sudah tidak tertarik. Masa sekolahnya cuman punya hape, mana ketinggalan di rumah lagi. Pak Kepsek enggak tau ada telepon pstn atau fwp ya? Kalau situasi emergency, orangtua mau telepon sekolahnya gimana?
- Kalau 'HB' ini asli iseng akibat lihat spanduk karena sekolahnya, kata mbah google, pakai bahasa Inggris. Tapi yang paling bikin enggak sreg yaitu melihat blog resmi sekolahnya dengan foto principal nya yang mengenakan sleeveless dress berwarna mencolok, dan berpose ala model yang lebih cocok di upload ke socmed. Si Ayah langsung sewot "Tidak!"
- Terakhir, sekolah 'D'. Dilihat dari namanya, saya kira masih milik Undip, ternyata hanya sama nama thok. Pas dateng ke ruang admin, pertama, sambutannya sangat tidak ramah. Kedua, walaupun hari itu masih liburan sekolah dan kelas kosong, rasanya tidak cocok bila ada bu guru tiduran di mat sambil utak-atik hp. Kesimpulan, disana hanya numpang main ayunan dan perosotan.

Akhirnya diputuskan bahwa sekolah pilihan tetap 'B'. Sedikit jauh memang, 7 menit pakai motor, dan pertamanya agak was-was, karena di sekolah ini enggak ada satpam. Kalau ada anak kabur gimana? Kata kepsek, Insya Allah kita awasin bener-bener, Bu, jangan khawatir, pintu besi didalam digembok kalau jam belajar. Hmmmm.

Untuk KB/PG, pertemuan hanya 3 kali seminggu. Satu kelas terdiri dari 15 anak dengan 2 pengajar. Hari selasa dan kamis pakai seragam (plus jilbab), hari sabtu bebas. Jam sekolah dari 07.30 wib sampai 10.15 wib, seringnya sih datang telat. Kan jauh *alasan*
Bangunan sekolahnya cukup luas, ada tempat bermain dan kelasnya dibagi dalam beberapa sentra (balok, peran, alam, seni, masak, matematika, dsb, lupa!). Datang di sekolah cium tangan ke bu guru, ucap salam, lepas sepatu, taruk sepatu di rak, tas di loker.Belajarnya di karpet membentuk lingkaran dan dimulai dengan doa-doa, al- Fatihah, sebelum belajar, diberi kecerdasan, dll. Orangtua murid diberi jadwal belajar siswa selama satu bulan, jadi kita tahu anak belajar apa aja di sekolah.

Di sekolah ini, siswanya rata-rata dari keluarga ekonomi menengah. Pokoknya, saya enggak suka kalau di usia balita, ada anak udah fasih minta gadget X, mainan Y, liburan ke Z, dan hal konsumtif lainnya. Ayesha kan mainannya lari-larian, naik pohon, ngejar kucing. Aman deh. Ibu-ibunya juga sederhana, enggak suka ngomongin hal-hal kebendaan enggak jelas, yang berikut ternyata hasil ngutang *tepokjidat*.

Sejauh ini, Ayesha bisa bergaul, terutama dengan teman laki-laki, mungkin karena mereka ini mainnya lebih fair dan enggak ada edisi jutek-jutekan. Gurunya cerita kalau Ayesha lebih suka pelajaran yang butuh banyak bergerak. Sayangnya, porsi pelajaran kinestetik di sini lebih sedikit dibanding audio dan visual. Kalau pas tema pelajaran ke sawah, ke kebun, ke alam, olahraga dia pasti paling semangat. Tangan kakinya belepotan lumpur malah makin suka dia. Giliran pelajarannya duduk diam di karpet mendengarkan gurunya bicara, cerita, hampir dipastikan dia ngabur main, menggambar atau glesotan. Hadoohhh!!
Kata gurunya, untuk tahapan usia segitu, tingkah seperti itu enggak apa-apa. Diarahkan saja, jangan dipaksakan untuk ikut pelajaran, nanti anak malah mogok sekolah.

Bicara soal mogok, enggak hanya sekali Ayesha ngambek. Marah-marah pas mau berangkat, di kelas minta ditungguin, maunya di luar kelas enggak mau ikut pelajaran. Dibujuk-bujuk gurunya enggak mempan, sementara emaknya gemes tak terkira dan nahan pengen nyubit. Namanya anak-anak, ada bosennya juga kali ya?

Tahun ajaran baru ini Ayesha masuk TK. Sama di sekolah ini juga. Soalnya, siswa lanjutan dari KB enggak bayar uang wakaf dan iuran SPP-nya disamakan dengan KB *irit. Teman-teman KB-nya juga lanjut ke TK yang sama dan guru-gurunya disana sudah familiar banget dengan Ayesha, jadi adaptasi lebih gampang.
Rada deg-degan juga pas awal tahun ini daftar, karena setiap kali dibilangin mau masuk TK dan masuk tiap hari, dianya selalu bilang, "Enggak mau."
Tapi udah dua bulan ini, tiap malam mau tidur selalu tanya, "Besok sekolah? Tunggu matahari dulu ya (pagi hari, maksudnya), Bunda." "Ayesha mau sekolah kan?" "Mau, nanti mau mainan sama temen-temen."
Lho...?!?!?!?

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe